Jumat, 03 Oktober 2014

PROPOSAL SKRIPSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PENGARUH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM  TERHADAP PENGAMALAN IBADAH SISWA (DI SD NEGERI 1 KECAMATAN PADANG JAYA KABUPATEN BENGKULU UTARA)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan bernegara.
Pendidikan merupakan sistem terbuka, sebab tidak mungkin pendidikan dapat melaksanakan fungsinya dengan baik bila ia mengisolasi diri dengan lingkungannya. Pendidikan berada di masyarakat, ia adalah milik masyarakat. Itulah sebabnya pemerintah menegaskan bahwa pendidikan adalah menjadi tanggung jawab pemerintah/sekolah, orang tua dan masyarakat. Oleh karena keberadaan pendidikan seperti itu maka apa yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat akan berpengaruh pula terhadap pendidikan  (Pidarta, 2000 : 28)
Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujukan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari betapa pentingnya peran agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Pendidikan agama Islam dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk pesertya didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Pendidikan agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu menyempurnakan iman dan takwa serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan.
Pendidikan  agama  Islam  merupakan  bagian  yang  tak  terpisahkan  dari sistem pendidikan di Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional                 pasal 12 ayat 1 butir a “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan  berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama  yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Berarti jika dalam lembaga pendidikan ada yang beragama Islam maka mereka berhak mendapatkan pengajaran agama Islam dan diajarakan oleh guru yang beragama Islam.
Islam  dengan  tegas  telah  mewajibkan  agar  melakukan  pendidikan, sebagaimana firman Allah, dalam al-Qur’an surat Al-Alaq 3-5 :

Artinya :"Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya". (Departemen Agama RI,  2005: 479).

Jadi dapat dipahami, bahwa  ayat  tersebut  juga menunjukan jika manusia tanpa melalui belajar, niscaya tidak akan dapat mengetahui segala sesuatu yang ia butuhkan bagi kelangsungan hidupnya di dunia  dan akhirat. Pengetahuan  manusia  akan  berkembang  jika  diperoleh  melalui  proses  belajar mengajar  yang  diawali  dengan  kemampuan  menulis  dengan  pena  dan  membaca dalam arti luas, yaitu tidak hanya dengan membaca tulisan melainkan juga membaca segala yang tersirat di dalam ciptaan Allah.
Pada tingkatan Sekolah Dasar mata pelajaran agama Islam diajarkan sejak kelas satu sampai kelas enam. Pelajaran ini berisikan keimanan, akhlak, Al-Qur’an  Hadits,  ibadah  dan  tarikh.  Yang    juga  di  dalamnya  menyangkut  teori hukum  Islam  yaitu  tentang  kewajiban  manusia,  khususnya  kewajiban  individual kepada Allah SWT .  
Pada prinsipnya pelajaran agama Islam membekali siswa agar memiliki pengetahuan lengkap tentang hukum Islam dan mampu mengaplikasikannya dalam bentuk ibadah kepada Allah. Dengan demikian siswa dapat melaksanakan ritual-ritual ibadah yang benar menurut ajaran Islam sesuai dengan ibadah yang dipraktekkan dan diajarkan Rasulullah saw.
Dalam standar kompetensi mata pelajaran  Pendidikan Agama Islam yang berisi kemampuan minimal yang harus dikuasai siswa selama menempuh PAI di SD, kemampuan  ini  berorientasai  pada  perilaku  afektif  dan  psikomotorik  dengan dukungan pengetahuan kognitif dalam rangka memperkuat keimanan dan ketaqwaan kepada  Allah  swt. Kemampuan-kemampuan  yang  tercantum  dalam  komponen kemampuan  dasar  ini  merupakan  penjabaran  dari  kemampuan  dasar  umum  yang harus dicapai di SD yaitu :  
1.      Mampu membaca Al- Quran dan surat-surat pilihan sesuai dengan tajwidnya, mengartikan, dan  menyalinnya,  serta  mampu  membaca,  mengartikan  dan menyalin hadits-hadits pilihan. 
2.      Beriman  kepada  Allah  SWT,  dan  lima    rukun  Islam  yang  disertai  dengan mengetahui fungsinya  serta terefleksi dalam sikap prilaku, dan akhlak eserta didik dalam dimensi verikal maupun horizontal.
3.      Mampu beribadah dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan syariíat Islam baik ibadah wajib dan ibadah sunnah maupun muamalah.
4.      Mampu  berakhlak  mulia  dengan  meneladani  sifat,  sikap  dan  kepribadian Rasulullah serta Khulafaur Rasyidin. 
5.      Mampu mengambil manfaat dari sejarah peradaban Islam. (Depdiknas,                 2003 : 10-11)

Berdasarkan pengamatan penulis dapat digambarkan bahwa, anak didik menganggap pelajaran pendidikan agama Islam hanya merupakan ilmu pengetahuan biasa dan kurang dihayati, sehingga dalam penerapannya dalam kehidupan sehari-hari belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Kondisi ini mencerminkan bahwa pelaksanaan pendidikan agama Islam belum terlaksana sesuai dengan tujuan pendidikan agama Islam itu sendiri. Melihat permasalahan ini, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengangkat judul “Pengaruh Pendidikan Agama Islam  Terhadap Pengamalan Ibadah Siswa (Di SD Negeri 1 Kecamatan Padang Jaya Kabupaten Bengkulu Utara”.

B.     Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
1.      Bagaimana Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di SD Negeri 1 Kecamatan Padang Jaya Bengkulu Utara ?
2.      Bagaimana Pengamalan Ibadah Siswa di SD Negeri 1 Kecamatan Padang Jaya Bengkulu Utara ?
3.      Apakah ada pengaruh pendidikan agama Islam terhadap pengamalan ibadah siswa di SD Negeri 1 Kecamatan Padang Jaya Bengkulu Utara ?

C.    Batasan Masalah
Agar penelitian tidak terlalu luas maka dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti yaitu :
1.      Pelaksanaan pendidikan agama Islam yang dimaksud adalah  proses belajar mengajar oleh guru di SD Negeri 1  Kecamatan Padang Jaya Bengkulu Utara.
2.      Pengamalan ibadah yang dimaksud adalah pada ibadah sholat, puasa,berdoa dan membaca al-quran.
D.    Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan :
1.      Untuk mengetahui Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di SD Negeri 1 Kecamatan Padang Jaya Bengkulu Utara
2.      Untuk mengetahui Pengamalan Ibadah Siswa di SD Negeri 1 Kecamatan Padang Jaya Bengkulu Utara.
3.      Untuk mengetahui pengaruh pendidikan agama Islam terhadap pengamalan    ibadah siswa di SD Negeri 1 Kecamatan Padang Jaya Bengkulu                     Utara

E.     Kegunaan Penelitian
1.      Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut bagi peneliti lain berkenaan dengan masalah pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dan efeknya terhadap pengamalan ibadah siswa.
2.      Diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi para guru, orang tua/wali murid dan para pengelola pendidikan guna mengambil langkah-langkah positif dalam memberi sugesti, dan semangat dalam mengajar demi tercapainya tujuan pendidikan, terutama tujuan Pendidikan Agama Islam.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    Landasan Teori
  1. Pendidikan Agama Islam
a.       Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam merupakan suatu pendidikan yang mengatur pribadi dan masyarakat untuk dapat memeluk agama Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kelompok, sebab pendidikan agama Islam merupakan sarana untuk memahami serta mengamalkan ajaran Islam.
Menurut Daradjat (2006:86)  Pendidikan agama Islam adalah suatu bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Menurut Usman Said yang dikutip oleh Ahmadi dan Nur                    Uhbiyati (2001 : 110) Pendidikan Agama Islam adalah segala usaha untuk terbentuknya atau membimbing/menuntun rohani jasmani seseorang menurut ajaran Islam. Sedangkan menurut Rahman Shaleh yang dikutip oleh Ahmadi dan Nur Uhbiyati (2001 : 111) dikemukakan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah segala usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang merupakan dan sesuai dengan ajaran Islam.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan agama Islam adalah bimbingan dan usaha yang diberikan pada seseorang dalam pertumbuhan jasmani dan usaha rohani agar tertanam nilai-nilai ajaran agama Islam untuk menuju pada tingkat membentuk kepribadian yang utama, yaitu kepribadian muslim yang mencapai kehidupan dunia dan akhirat. yang didasarkan atas hukum-hukum Islam menuju terbentuknya kepribadian utama sesuai dengan ajaran Islam.
b.      Tujuan Pendidikan Agama Islam
Athiyah Al-Abrasyi yang dikutip oleh Ahmadi dan Nur Uhbiyati (2001 : 112) mengemukakan bahwa :
Pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari Pendidikan Islam, dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Tapi ini tidak berarti bahwa kita tidak mementingkan pendidikan jasmani atau akal atau ilmu ataupun segi-segi praktis lainnya tetapi artinya ialah bahwa kita memperhatikan segi-segi pendidikan akhlak seperti juga segi-segi lainnya itu.

Menurut Abdurrahman An Nahwali (1995: 117), tujuan Pendidikan Agama Islam adalah untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta pengalaman peserta didik tentang Agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan kehidupan dunia-akhirat. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan penghambaan kepada Allah dalam kehidupan manusia, baik secara individual maupun secara sosial.
Sedangkan Hamdani Ihsan, dkk. (2001: 63) mengungkapkan tiga tujuan pendidikan agama Islam antara lain:

1.         Tujuan Umum
Tujuan umum pendidikan agama Islam harus dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional di negara dimana tempat pendidikan itu dilaksanakan dan harus dikaitkan juga dengan tujuan institusional lembaga yang menyelenggarakan pendidikan itu. Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku, kebiasaan dan pandangan. Sehingga tujuan umum tidak dapat dicapai setelah melalui proses pembelajaran, pembiasaan, pengalaman, penghayatan dan keyakinan akan kebenarannya.
2.         Tujuan Akhir
Pendidikan itu berlangsung selama hidup, maka tujuan akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir pula. Dengan demikian pendidikan Islam itu berlaku selama hidup untuk menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara dan mempertahankan tujuan pendidikan yang telah dicapai.


3.         Tujuan Sementara
Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, tujuan pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam segala jenjang dan tingkatnya adalah dimaksudkan untuk membantu manusia dalam rangka mencapai tujuan hidupnya, sehingga akan diperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat secara seimbang dan selaras. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan agama Islam maka setiap pendidik hendaknya mengarahkan segala kemampuan dan ilmu pengetahuan yang  dimilikinya guna pencapaian tujuan pendidikaan agama Islam yang diharapkan.
c.       Fungsi Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama Islam merupakan suatu pendidikan yang mengatur pribadi dan masyarakat muslim untuk dapat memeluk agama Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kelompok, sebab pendidikan Islam merupakan sarana untuk memahami serta mengenalkan ajaran Islam.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.    Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (Field research), dengan bentuk korelasional dengan pendekatan kuantitatif.

B.     Populasi dan Sampel
1.      Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006: 130). Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh siswa SD Negeri 1 Kecamatan Padang Jaya Kabupaten Bengkulu Utara  yang jumlahnya 235 siswa yang terdiri dari 120 laki-laki dan 115 perempuan.
2.      Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2006: 130) Mengingat populasinya lebih dari 100 orang, maka penulis mengutip pendapat Suharsimi Arikunto (2006: 134) “Apabila subjeknya kurang dari seratus orang, maka lebih baik diambil keseluruhan, akan tetapi jika subjeknya lebih dari seratus orang, maka lebih baik diambil sekitar 10-15 % atau 20-25 %.”.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka peneliti mengambil sampelnya sebanyak 20 %, jadi responden dalam penelitian ini berjumlah   47 orang. Adapun teknik yang digunakan yaitu teknik stratified  random sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan tingkatan  secara acak.

C.      Teknik Pengumpulan Data
1.      Observasi
Menurut S. Nasution (2008: 107) observasi atau pengamatan adalah suatu teknik yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan secara sistematis.
Observasi ini penulis lakukan untuk mengetahui secara jelas tentang pelaksanaan ibadah sholat, puasa, baca qur’an dan doa pada siswa serta lokasi penelitian, keadaan dan kondisi sekolah yang berkenaan dengan penelitian penulis.
2.      Angket
Angket,  yakni  pertanyaan-pertanyaan  dalam  bentuk  tulisan  yang  diajukan kepada  siswa  kelas VI SD Negeri 1 Kecamatan Padang Jaya Bengkulu Utara  yang  menjadi  responden untuk mengetahui pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dan efeknya terhadap pengamalan ibadah siswa.

D.    Teknik Analisa Data
Prosedur  penganalisaan  data  dalam  penelitian  ini  ditempuh  melalui  langkah-langkah sebagai berikut. 
1.      Memeriksa jawaban-jawaban yang diberikan para responden  dalam daftar isian, apakah pengisiannya lengkap atau tidak
2.      Mentabulasikan jawaban-jawaban  ke dalam beberapa daftar tabel yang sudah dipersiapkan 
3.      Setelah  data  cukup  komplit  dan  ditabulasikan,  akan  di  analisa  menggunakan analisa statistik sebagai berikut : 
a.       Untuk menjawab pertanyaan pertama dan kedua, penulis menggunakan rumus :
Mx =   å X   (Sudijono, 2006: 196)
             N 
Dengan criteria yang digunakan Tinggi (T), Sedang (S) dan Rendah (R).
b.      Untuk menjawab pertanyaan ke tiga, menggunakan rumus product moment sebagai berikut:
Keterangan
xy     =      Jumlah perhitungan antara skor item x dan skor item y
x2      =      Jumlah perkalian skor item x
y2      =      Jumlah perkalian skor item y (Arikunto, 2006: 273)



Jumat, 18 Mei 2012

MAKALAH BIMBINGAN KONSELING


PEMAHAMAN TEORITIS TENTANG BIMBINGAN DAN KONSELING
 
BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
Tujuan pendidikan mensyaratkan perkembangan kemampuan siswa secara Optimal, dengan kemampuan untuk berkreasi, mandiri, bertanggung jawab dan dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Sebagai individu, siswa memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan. Kenyataan yang dihadapi, tidak semua siswa menyadari potensi yang dimiliki untuk kemudian memahami dan mengembangkannya. Disisi lain sebagai individu yang berinterksi dengan lingkungan, siswa juga tidak dapat lepas dari masalah.
Menyadari hal di atas siswa perlu bantuan dan bimbingan orang lain agar dapat berindak dengan tepat sesuai dengan potensi yang ada pada dirinya. Sekolah sebagai institusi pendidikan tidak hanya berfungsi memberikan pengetahuan tetapi juga mengembangkan kesluruhan kepribadian anak. Sebagai profesional guru memegang peran penting dalam membantu murid mengembangkan seluruh aspek kepribadian dan lingkungannya.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa itu bimbingan?
2.      Apa itu konseling?
3.      Bagaimana azas-azas bimbingan konseling?
4.      Bagaimana landasan bimbingan konseling?
 



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Bimbingan
v     Bimbingan sebagai bantuan  yang diberikan individu untuk dapat memilih, mempersiapkan diri, dan memangku suatu jabatan serta mendapat kemajuan dalam jabatan yang dipilihnya itu. (Frank Parson, dalam Prayitno dan Erman Amti, 2004).
v     Menurut Jones, Staffire dan Stewart, 1970 bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada individu dalam membuat pilihan-pilahn dan penyesuaian-penyesuaian yang bijaksana. Bantuan itu didasarkan atas prinsip demokrasi yang merupakan tugas  dan hak setiap individu untuk memilih jalan hidupnya sendiri sejauh tidak mencampuri hak orang-orang lain. Kemampuan membuat pilihan seperti iti tidak diturunkan (diwarisi) tetapi harus dikembangkan. ( Prayitno dan Erman Amti, 2004).
v     Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja maupun dewasa, agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa bimbingan pada prinsipnya adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu dalam hal memahami diri sendiri, menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih, menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan tuntutan lingkungan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Unsur-unsur  pokok bimbingan, sbb:
1.      pelayanan bimbingan merupakan suatu proses
2.      bimbingan merupakan proses pemberian bantuan
3.      bantuan diberikan kepada individu baik perorangan maupun kelompok
4.      pemecahan masalah dalam bimbingan dilakukan  oleh atau kekuatan klien sendiri, sehingga mencapai kemandirian
5.      bimbingan dilaksanakan dengan menggunakan berbagai bahan, interaksi, nasehat, ataupun gagasan serta alat-alat tertentu baik yang berasal dari klien sendiri, konselor maupun dari lingkungan.
6.      bimbingan tidak diberikan untuk kelompok-kelompok umur tentu saja tetapi meliputi semua usia mulai dari anak-anak, remaja dan orang dewasa.
7.      bimbingan diberikan oleh orang-orang yang ahli yaitu orang-orang yang memiliki kepribadian yang terpilih dan telah memperoleh pendidikan serta latihan yang memadai dalam bidang bimbingan dan konseling
8.      pembimbing tidak selayaknya memaksakan keinginan-keinginannya kepada klien, karena klien mempunyai hak dan kewajiban untuk menentukan arah dan jalan hidupnya sendiri, sepanjang dia tidak mencampuri hak-hak orang lain.
9.      bimbingan dilaksanakan sesuai dengan norma-norma yang berlaku

B.     Pengertian Konseling
v     Konseling adalah upaya membantu individu melalui  proses interaksi yang bersifat pribadi antara konselor dan konseli (klien) agar konseli mampu memahami diri dan lingkungannya mampu membuat keputusan dan menentukan tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa bahagia dan efektif perilakunya. (Shetzer dan Stone, dalam Achmad Juntika Nurihsan, 2006).
v     Konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien. Konselor mempergunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu klien mengatasi masalah-masalahnya. (ASCA, dalam Achmad Juntika Nurihsan, 2006).
Sedangkan konseling menurut Prayitno dan Erman Amti (2004:105) adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Sejalan dengan itu, Winkel (2007:34) mendefinisikan konseling sebagai serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingan dalam usaha membantu konseli/klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus.
Berdasarkan pengertian konseling di atas dapat dipahami bahwa konseling adalah usaha membantu konseli/klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus. Dengan kata lain, teratasinya masalah yang dihadapi oleh konseli/klien.
Ciri-ciri pokok kegiatan konseling, sbb:
1.      Konseling melibatkan dua orang yang saling berinteraksi dengan jalan mengadakan komunikasi langsung, gerakan-gerakan isyarat, pandangan mata, dan gerakan-gerakan lain dengan maksud untuk meningkatkan pemahaman kedua belah pihak yang terlibat di dalam interaksi tersebut.
2.      Model interaksi di dalam konseling itu terbatas pada dimensi verbal, yaitu konselor dank lien saling berbicara.
3.      Interaksi antar konselor dank lien berlangsung dalam waktu yang relative lama dan terarah kepada pencapaian tujuan.
4.      Tujuan dari hubungan konseling ialah terjadinya perubahan pada tingkah laku klien.
5.      Konseling merupakan proses yang dinamis dimana individu klien dibantu untuk dapat mengembangkan dirinya, mengembangkan kemampuan-kemampuannya dalam mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapi .
6.      Konseling didasari atas penerimaan konselor secara wajar tentang diri klien yaitu atas dasar penghargaan terhadap harkat dan martabat klien.
Tujuan Konseling
1.      Mengadakan perubahan perilaku pada diri klien sehingga memungkinkan hidupnya lebih produktif dan memuaskan. Khususnya disekolah tujuan konseling adalah membantu siswa menjadi lebih matang dan mengaktualisasikan dirinya, membantu siswa maju dengan cara yang positif, membantub  dalam sosialisi dengan siswa dengan memanfaatkan sumber-sumber dan potensinya sendiri.
2.      Memelihara dan mencapai kesehatan mental yang positif


3.      Penyelesaian masalah
4.      Mencapai keefektifan pribadi
5.      Mendorong individu mampu mengambil keputusan yang penting bagi dirinya.
Fungsi Pelayanan Konseling
1.      Pemahaman
-         Pemahaman tentang klien
-         Pemahaman tentang masalah klien
-         Pemahaman tentang lingkungan yang lebih luas
2.      Pencegahan
3.      Pengentasan
4.      Pemeliharaan dan pengembangan
5.      Advokasi
Prinsip-prisip Bimbingan dan Konseling
1.      Sasaran Pelayanan
2.      Masalah Individu
3.      Program Pelayanan
4.      Pelaksanaan Layanan
5.      BK di sekolah

C.     Azas-azas Bimbingan dan Konseling
1.      Azaz Kerahasiaan
Merupakan asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain. Dalam hal ini  guru pembimbing (konselor) berkewajiban memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaannya benar-benar terjamin. Jika asas kerahasiaan ini benar-benar dijalankan maka bimbingan dan koseling akan berjalan dengan lancar dan baik.
2.      Azas Kesukarelaan
Asas ini merupakan asas yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan peserta didik (klien) mengikuti/menjalani/kegiatan yang diperlukan baginya. Dalam hal  ini guru Pembimbing (konselor) berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan seperti itu.
3.      Asas Keterbukaan
Asas ini merupakan asas yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan/kegiatan besikap terbuka dan tidak berpura-pura baik dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam  menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Guru pembimbing (konselor) berkewajiban mengembangkan keterbukaan peserta didik (klien). Agar peserta didik (klien) mau terbuka, guru pembimbing (konselor) terlebih dahulu bersikap terbuka dan tidak berpura-pura. Asas keterbukaan ini bertalian erat dengan asas kerahasiaan dan kerelaan.
4.      Asas Kegiatan
Asas ini menghendaki agar peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan/ kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing (konselor) perlu mendorong dan memotivasi peserta didik untuk dapat aktif dalam setiap layanan/kegiatan yang diberikan kepadanya.
5.      Asas kemandirian
Asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan konseling yaitu peserta didik (klien) sebagai sasaran layanan/kegiatan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi individu-individu yang mandiri, dengan cari-ciri mengenal diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan, serta mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing (konselor) hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan bimbingan dan konseling bagi berkembangnya kemandirian peserta didik (klien).
6.      Asas Kekinian
Asas yang menghendaki objek sasaran layanan bimbingan dan konseling yakni permasalahan yang dihadapi peserta didik/klien dalam kondisi sekarang. Kondisi masa lampau dan masa depan dilihat sebagai dampak dan memiliki keterkaitan dengan apa yang ada dan diperbuat peserta didik (klien) pada saat sekarang.

7.      Asas Kedinamisan
Asas ini menghendaki agar isi pelayanan terhadap sasaran layanan (peserta didik/klien) hendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
8.      Asas keterpaduan
Asas ini merupakan asas yang menghendaki agar berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling baik  yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain saling menunjang, harmonis dan terpadukan. Dalam hal ini kerjasama dan koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait dengan bimbingan dan konseling menjadi amat penting dan harus dilaksanakan sebaik-baiknya.
9.      Asas Keharmonisan/Kenormatifan
Asas ini menghendaki agar segenap layanan  dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada norma-norma, baik norma agama, hokum, peraturan, adapt istiadat, ilmu pengetahuan dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku. Bahkan lebih jauh lagi, melalui segenap layanan/kegiatan bimbingan konseling ini harus dapat meningkatkan kemampuan peserta didik (klien) dalam memahami, menghayati dan mengamalkan norma-norma tersebut.
10.  Asas Keahlian
Yaitu asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar-dasar kaidah propesional. Dalam hal ini dalam pelaksana layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling lainnya hendaknya tenaga yang benar-benar ahli dalam bimbingan dan konseling. Profesionalitas guru pembimbing (konselor) harus terwujud baik dalam menyelenggarakan jensi-jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling dan dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
11.  Asas Alih Tangan Kasus
Asas Alih Tangan Kasus yaitu asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu  permasalahan peserta didik (klien) kiranya dapat mengalih tangankan kepihak yang lebih ahli. Guru pembimbing (konselor) dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain. Demikian pula sebaliknya guru pembimbing (konselor) dapat mengalih tangankan kasus kepada pihak yang lebih kompeten baik yang berada di dalam lembaga sekolah maupun luar sekolah.
12.  Asas Tutwurihandayani
Asas ini menunjukkan pada suasana umum yang hendaknya tercipta dalam rangka hubungan keseluruhan antara pembimbing dan yang dibimbing lebih-lebih dilingkungan sekolah, asas ini makin dirasakan manfaatnya dan bahkan perlu dilengkapi dengan “ingngarsa sung tulada, ing  madya mangun karso”.

D.    Landasan Bimbingan dan Konseling
1)      Filosofis
Pemikiran filosifis yang selalu terkait dengan pelayanan BK terutama adalah tentang konsep manusia, makna dan hakikat kehidupan manusia, serta tugas dan tujuan hidupnya. Pemikiran tentang hakikat manusia akhirnya bermuara pada deskripsi yang mendasar bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki empat dimensi, keindividualan, dimensi kesosilan, dimensi kesusilaan dan dimensi keberagamaan. Disamping itu pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang memiliki tujuan dan mengemban tugas kehidupan tertentu yang berkaitan dengan kehidupan beragama, bekerja, berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Oleh karena itu pemikiran filosofis menuntut konselor bekerja secara cermat, tepat dan bijaksana.
2)      Religius
Landasan religius dalam pelayanan BK sangat perlu diletakkan, karena agama berpengaruh dalam kehidupan manusia. Agama adalah dimensi, potensi, dan kebutuhan jiwa manusia yang tinggi. Kemuliaann manusia  sebagaimana ditunjukkan oleh kaidah-kaidah agama harus dikembangkan dan dimuliakan. Segala tindakan dan kegiatan BK selalu diarahkan pada tujuan pemuliaan kemuliaan manusia itu. Oleh karena itu pengaruh agam pada tujuan pemuliaan dalam pelayanan BK adalah mengerahkan klien dalam upaya meningkatkan imtak, kemuliaan akhlak atau kemanusiaannya.
3)      Psikologis
Landasan psikologis dalam BK dimaksudkan untuk  memberikan pemahaman tentang tingkah laku individu yang menjadi sasaran layanan dengan berbagai latar belakang dan latar depannya. Hal ini sangat penting, karena bidang garapan BK adalah tingkah laku  individu, khususnya klien yang perlu diubah dan atau dikembangkan apabila hendak mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya atau ingin mencapai tujuan-tujuan yang dikehendakinya .
4)      Sosial Budaya
Landasan social budaya dalam BK dimaksudkan untuk mengingatkan konselor bahwa pelayanan BK yang dikembangkan hendaknya ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia dengan ke-Bhinekaan kehidupan sosial budaya mereka miliki.
5)      Ilmiah dan Teknologis
Landasan ini membicarakan tentang sifat-sifat keilmuan BK. Dalam kaitan ini BK adalah suatu ilmu sebagaimana ilmu-ilmu lainnya. BK juga sebagai suatu ilmu yang multi-refensial  menerima sumbangan-sumbangan besar dari ilmu lain dan bidang teknologi, sehingga BK menjadi besar dan kokoh serta selalu dapat mengikuti perubahan dan perkembangan zaman, terutama dibidang IPTEK yang semakin pesat.
6)      Pedagogis
Landasan pedagogis mengemukakan bahwa antara pendidikan dan BK memang dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Secara mendasar BK merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan. Demikian juga, tujuan pelayanan dan proses BK berujung pada nilai pedagogis.

 



BAB III
PENUTUP


A.     Kesimpulan
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa bimbingan pada prinsipnya adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu dalam hal memahami diri sendiri, menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih, menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan tuntutan lingkungan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Konseling adalah usaha membantu konseli/klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus. Dengan kata lain, teratasinya masalah yang dihadapi oleh konseli/klien.
Bimbingan konseling itu sendiri memiliki cirri-ciri, tujuan, fungsi pelayanan konseling, prinsip-prinsip bimbingan dan konseling, azas-azas dan landasan bimbingan konseling.

B.     Saran
Berdasarkan penjelasan tentang bimbingan konseling, penulis memberikan saran bagi pelaksana/guru harus lebih kreatif dalam mengembangkan program bimbingan dan konseling, pendekatan yang digunakan sebaiknya pendekatan perkembangan, pelayanannya harus cepat tanggap dan lebih proaktif.


 


DAFTAR PUSTAKA



Februlini, Dini. 2011. Bimbingan Konseling. Yogyakarta: Teras

Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan Konseling. Cetakan ke dua.

Winkel, W.S,.2007. Bimbingan dan Konseling di Intitusi Pendidikan. Jakarta: Gramedia

Yusuf, Samsul dan Juntika, Nurihsan. 2009. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Rodaskarya


 




KATA PENGANTAR


            Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. Yang telah memberikan karunia dan lindungan-Nya. Begitu besar rasa syukur yang penulis rasakan, karena berkat Ridho-Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah Bimbingan Konseling.  
Selama penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Maka dari itu, sudah selayaknya penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus – tulusnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Semoga amal baik yang telah diberikan kepada penulis tercatat sebagai amal shaleh dan mendapat imbalan yang berlipat dari Allah swt.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi penyajian, penulisan, dan penggunaan tata bahasa. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan sebagai proses perbaikan untuk karya tulis selanjutnya hingga menjadi lebih baik.

Bengkulu,  Mei 2012

         Penulis






DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL ................................................................................................       i
KATA PENGANTAR ..............................................................................................      ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................     iii

BAB     I     PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang ..................................................................................     1
B.     Rumusan Masalah ..............................................................................     1

BAB     II    PEMBAHASAN
A.     Pengertian Bimbingan.........................................................................     2
B.     Pengertian Konseling..........................................................................     3
C.     Asas-asas Bimbingan Konseling ........................................................     5
D.     Landasan bimbingan Konseling...........................................................     8

BAB     III   PENUTUP
A.     Kesimpulan........................................................................................   10
B.     Saran.................................................................................................   10



MAKALAH AL-IJMA'


BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat dibawah dalil-dalil nash (Al-Qur’an dan Hadits) Ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Apabila terjadi suatu kejadian dan dihadapkan kepada seorang mujtahid umat Islam pada waktu terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal itu, maka kesepkatan hal itu disebut ijma, kemudian dianggaplah ijma’ mereka atas suatu hukum mengenai hal itu, sebagai dalil bahwa hukum ini adalah hukum syariat Islam mengenai suatu kejadian. Ini ditetapkan setelah kewafatan Rasulullah SAW, karena sewaktu beliau masih hidup, beliau sendirilah sebagai tempat kembali hukum syariat Islam, sehingga tidak terdapat perselisihan mengenai syariat hukum Islam, dan tidak terjadi pula sebuah kesepakatan (ittifaq), karena kesepakatan itu tidak akan terwujud keculi dari beberapa orang.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa Pengertian Ijma’?
2.      Apa sajakah macam-macam ijma’?
3.      Bagaimana cara penggunaan ijma’?







BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Al-Ijma’
Secara etimalogi, ijma’ terbagi kepada dua pegertian,  yaitu :
  1. Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, misalnya perkataan :
جمع القوم على كذالك اذا التفقوا عليه
Artinya :
“Suatu kaum telah berijma’ begini, jika mereka telah sepakat begini.”
Pengertian tersebut juga dapat ditemukan didalam surat Yusuf ayat 15, yaitu :
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ (15)

Artinya : “ Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya kedalam sumur (lalu mereka memasukkan dia)…” (QS. Yusuf : 15)
  1. Ijma berarti tekad atau niat yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini dapat dilihat pada surat Yunus ayat 71:

..فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ...
Artinya:  “ Karena itu bulatkanlah keputusan dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).” (QS. Yunus : 71)
Pengertian tersebut juga terdapat dalam sabda Nabi SAW ;
لا صيام لمن لم يجمع الصيام من الليل(روه ابو داود)
Artinya : “ Tidak sah puasa seseorang yang tidak membulatkan niat puasanya pada malam harinya.” (HR. Abu Dawud)[1]
Adapun pengertian ijma’ secara terminologi, para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikannya :
a.       Pengarang kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua ulama mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
b.      Pengarang kitab Tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. terhadap masalah syara’.
Sedangkan menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Kallaf, ijma’ menurut istilah ulama ushul ialah kesepakatan semua mujtahidin diantara umat islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW. atas hukum syar’I mengenai suatu kejadian atau kasus. Prof. Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwasanya ijma’ itu adalah kesepakatan para mujtahid dalam dalam suatu masa setelah wafatnya Rosulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaly).[2]
Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “ kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.” Rumusan Al-Ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW. yaitu seluruh umat Islam, termasuk orang awam. Al-Ghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa berijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Rosulullah SAW. Alasannya, karena pada masa Rosulullah ijma tidak diperlukan, sebab keberadaan Rosulullah SAW. sebagai syar’I (penentu/pembuat hukum) tidak memerlukan ijma’.[3]
 Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid yang ada di dunia Islam terhadap hukum syara’ dari suatu kejadian atau peristiwa pada suatu masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat.

Syarat dan Rukun Ijma’
Berdasarkan definisi ijma’ diatas dapat diketahui bahwa ijma’ itu dapat terjadi bila telah memenuhi empat macam kriteria di bawah ini :
1)      Adanya sebilangan para mujtahid pada waktu terjadinya suatu peristiwa, karena kesepakatan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan beberapa pendapat, yang masing-masing diantaranya sesuai dengan yang lainnya.
2)      Adanya kesepakatan semua mujtahid umat Islam atas suatu hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa memandang negeri mereka, kebangsaannya atau kelompoknya.
3)      Adanya kesepakatan mereka itu dengan menampilkan pendapat masing-masing mereka mengenai suatu kejadian dengan jelas, baik berbentuk ucapan (qauli), misalnya dengan memberikan fatwa mengenai suatu kejadian, atau berbentuk perbuatan (Fi’li) misalnya suatu keputusan mengenai suatu hal atau kejadian. Atau penampilan pendapat menjatuhkan itu secara menyendiri, dan ketika telah dikumpulkan beberapa pendapat tampak jelas kesepakatannya.
4)       Dapat direalisir kesepakatan dari semua mujtahid atas suatu hukum. Seandainya pada sebagian mereka telah terjadi kesepakatan, maka tidaklah terjadi ijma’ atas dasar kesepakatan sebagian besar. Ketika jumlah penentang itu sedikit dan jumlah yang mufakat itu banyak berarti masih terdapat pula kemungkinan benar bagi suatu pihak dan kemungkinan salah (keliru) bagi pihak lainnya. Jadi, kesepakatan mayoritas itu tidak menjadi hujjah syar’iyyah secara pasti dan apalagi dikukuhkan.
Syarat terbentuknya ijma’ yaitu sebagai berikut :
1.      Yang bersepakat adalah para Mujtahid. Secara umum mujtahid itu diartikan sebagai ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbaht hukum dari hukum-hukum syara’. Dalam kitab Jam’ul Jawami disebutkan bahwa yang disebut dengan mujtahid ialah orang yang faqih. Ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi, hal ini berdasarkan pendapat AL-Wadih dalam kitabIsbath, bahwa mujtahid yang diterima fatwanya ialah ahlu al-halli wal aqdi.
Pendapat-pendapat tersebut sebenarnya memiliki kesamaan, yakni bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya. Jika dalam suatu masa tidak ada seorang pun yang mencapai derajat mujtahid, maka tidak bisa dikatakan ijma’. Mekipun ada, tetapi hanya satu orang, itu pun tetap tidak dikatakan ijma’, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya sendiri.
2.      Para mujtahid harus umat Muhammad SAW. ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan umat Muhammad adalah orang-orang mukallaf dari golongan ahl al-halli wa al-aqdi. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golonan Muhammad. Tidak bisa dikatakan ijma’ jka kesepakiatan itu dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. karena ijma’ umat Muhammad SAW. itu telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin bersepakat atau ber-ijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.
3.      Dilakukan setelah wafatnya Nabi. Hal itu karena ketika Nabi masih hidup, Nabi-lah yang menjadi sumber hukum dari setiap permasalah yang terjadi.
Adapun rukun ijma’ adalah sebagai berikut :
a.       Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mereka yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.
b.      Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c.       Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatanya.
d.      Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an dan atau hadits Rosulullah SAW.[4]


Dasar hukum ijma'
a.      Al-Qur'an
Allah SWT berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Firman AIlah SWT:
Artinya:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT:
Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)
Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."
b.      Al-Hadist
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
c.       Akal Pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.

B.     Macam-macam Al-Ijma’
Macam-macam ijma’ jika dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu :
1.      Ijma’ Sharih
Yaitu semua mejtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qadha (memberi keputusan). Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya,dan kemudian menyepakati salah satunya. Ijma’ sharih ini merupakan ijma’ yang haqiqi, ijma’ yang dijadikan hujjah syar’iyyah menurut madzhab jumhur. Ijma’ sharih disebut juga dengan ijma’ bayani, ijma’ qauli atau ijma’ haqiqi.
2.      Ijma’ Sukuti
Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau pun menolak pendapat tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila telah memenuhi beberapa kriteria berikut :
  1. Diamnya mujtahid itu betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukan adanya kesepakatan, yang dilakukan oleh sebagian mujtahid. Maka tidak dikatakan ijma’sukuti, melainkan ijma’ sharih. Begitu pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid, itupun bukan ijma’sukuti.
  2. Keadaan diamnya para mujtahid itu cuku lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukaka hasil pendapatnya.
  3. Permasalahan yag difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat dzanni. Sedangkan permasalahan yang tidak boleh di-ijtihadi atau yang bersumber dari dalil-dalil qath’I, jika seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan yang lainnya diam. Hal itu tidak bisa disebut ijma’.
 Mengenai ijma’ sukuti ini, para ulama terbagi dalam tiga pendapat, yaitu sebagai berikut :
1.      Imam Syafi’I dan mayoritas fuqaha mengemukakan : tidak memasukkan ijma’ sukuti ini kedalam kategori ijma’.
Mereka beralasan bahwa orang yang diam tidak dapat dipandang sebagai orang yang berpendapat. Oleh karena itu, jika diam dipandang sebagai ijma’, berarti diam itu dapat dianggap sebagai pembicaraan yang dinisbatkan kepada serorang mujtahid yang belum tentu menerima pendapat tersebut.
Selain itu diam juga tidak dianggap sebagai setuju, karena dimungkinkan banyak faktor yang membuatnya diam. Misalkan diamnya mujtahid itu mungkin dia setuju, mungkin di belum berijtihad dalam masalah tersebut, atau mungkin ia telah berijtihad tapi belum mendapatkan hasil yang mantap dan banyak juga kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja terjadi.
Dengan demikian, diam tidak dapat dipandang sebagai hujjah untuk menerima pendapat seorang mujtahid.
2.      Sebagian fuqaha yang lain berpendapat : memasukkan ijma’sukuti dalam kategori ijma’. Hanya saja kekuatanya dibawah ijma’ sharih.
Sebagian fuqaha itu beralasan bahwa pada dasarnya diam tidak dapat dikategorikan hujjah kecuali sesudah merenung atau berfikir. Selain itu, pada umumnya tidak semua pemberi fatwa (mufti) memberikan keterangan pada suatu masalah. Tetapi yang umum pada setiap masa (generasi) adalah para mufti besar memberikan fatwa, sedang ulama yang lain menerimanya.
3.      Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi (hujjah) akan tetapi tidak termasuk dalam kategori ijma’. Ulama yang berpendapat demikian, mereka beralasan bahwa meskipun ijma’ sukuti tidak memenuhi kriteria ijma’, tidak setiap orang alim mengemukakan pendapatnya, akan tetapi dapat dijadikan hujjah, karena diamnya seorang ulama lebih kuat menunjukkan arti setuju, dibanding sikap menentang.
Jika ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi kepada :
a)      Ijma’ qath’i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’I atau diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum adalah peristiwa atau kejadian yang telah ditetakan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
b)       Ijma’ dzanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah dhanni. Masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain. [5]
Selain macam-macam ijma’ diatas, dalam kitab-kitab ushul fiqh terdapat pula beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa terjadinya, tempat terjadinya atau orang-orang yang melaksanakannya. Ijma’-ijma’ itu adalah :
a.       Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
b.      Ijma’ khulafaur rasyidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bun Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa keempat orang itu hidup.
c.       Ijma’ syaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dab Umar bin Kattab.
d.      Ijma’ ahli madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama madinah. Madzhab Maliki menjadikan ijma’ ahli madinah ini sebagai salah satu sumber hukum islam.
e.       Ijma’ ulama kuffah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama kuffah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma’ ulama kuffah sebagai salah satu sumber hukum islam.
Ijma’ dipandang tidak sah, kecuali bila mempunyai sandaran, sebab ijma’ bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Selain itu fatwa dalam masalah agama tanpa sandaran adalah tidak sah.

C.     Cara Penggunaannya
Mayoritas ulama ushul fiqh mengatakan bahwa landasan ijma’ itu bisa berasal dari dalil yang qath’I, yaitu Al-Quran, Sunnah Mutawatir serta bisa juga berdasarkan dalil dhanni, seperti hadits ahad. Sedangkan ulama dzahiriyyah, syi’ah, dan ibnu Jarir Al-Thabari mengatakan bahwa landasan ijma’ itu harus dalil yang qath’i. Menurut mereka, ijma’ itu dalil yang qath’I. Suatu dalil yang qath’I, tidak mungkin didasarkan kepada dalil dzanni. Disamping itu, seorang mujtahid boleh menolak ijtihad mujtahid lain yang didasarkan kepada qiyas.
Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan maslahah mursalah sebagai landasan ijma”. Para ulama yang menerima maslahah mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung oleh nash yang rinci, tidak pula ditolakmoleh nash, tetapi didukung oleh sejumlah makna nash) sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum menyatakan bahwa ijma’ bisa didasarkan pada maslahah mursalah, dengan syarat apabila kemaslahatan itu berubah, maka ijma pun bisa berubah. Alasan mereka adalah para ahli fiqh madinah ber[endapat bahwa penetapan harga (al-taksir al-jabari) hukumnya bleh, sedangkan para sahabat sebelumnya tidak memberlakukan penetapan harga. Landasan kesepakatan ini adalah maslahah mursalah.
Demikian juga kesepakatan ulama tentang larangan orang yang ada hubungan kekerabatan dan suami istri menjadi saksi dalam kasus istri atau suaminya, atau sebaliknya. Landasan kesepakatan ulama ini adalah maslahah mursalah.
Zakiyuddin Sya’ban, ahli ushul fiqh Mesir, mengatakan bahwa ijma yang didasarkan kepada maslahah mursalah tidak bersifat tetap dan abadi, tetapi bisa berubah sesuai dengan perkembangan kemaslahatan itu sendiri. Karenanya jika terjadi perubahan kemaslahatan, maka ijma’ tersebut boleh dilanggar dan ditentukan hukum lain yang lebih mendatangkan kemaslahatan.
Dengan demikian setiap ijma; yang dapat dijadikan sumber fiqih adalah ijma’ yang mempunyai sandaran qath’I seperti ayat Al-Qur’an atau Sunnah yang mutawatir. Maka kalau sandarannya itu dzanni seperti hadits ahad atau qiyas masih dianggap sebagai ijma’, para fuqaha berbeda pendapat. Jumhurul fuqaha memberikan contohnya seperti ijma’ tentang haram memakan lemak babi yang diqiaskan dengan daging babi,dan wajib membuang minyak lampu yang didalamnya terdapat bangkai tikus.[6]

















BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belaum diketahui hukumnya.
Adapun dari ijma’ itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum (ijma’).
Dan dari ijma’ itu sendiri terdapat beberapa macam. Diantaranya: ijma’ sharih, ijma’ sukuti. Dari dua versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’ mengenai ijma’ itu sendiri.

B.     Saran Dan Kritikan
Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumber-sumber Islam (ijma’) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat (masyarakat) adil dan makmur. Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dan konstruktif demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Abdul Wahab. 2002. Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Syafe’I, Rahmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : CV. Pustaka Setia.

Umam, Chaerul dkk. 1998. Ushul Fiqh I. Bandung : CV. Pustaka Setia.

Umar, Muin dkk. 1985. Ushul Fiqh I. Jakarta : Departemen Agama.

Zahrah, Muhammad Abu. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus.



















KATA PENGANTAR


Bismillahhirrahmanirrahim
Puji syukur kahadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan karunia, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan baik.
Shalawat dan salam semoga tetap mengalir deras pada pejuang kita yang namanya popular dan berkibar diseluruh dunia yakni Nabi besar Muhammad SAW. Yang mana dengan perjuangan beliau kita dapat berada dalam cahaya Islam dan Iman.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan, sehingga penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi kesempurnaan dalam penulisan makalah selanjutnya.
Akhirnya penulis berdo’a semoga makalah ini akan membawa manfaat pada penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

                                                                   Bengkulu,   Mei 2012

  
  Penulis




DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL ................................................................................................       i
KATA PENGANTAR ..............................................................................................      ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................     iii

BAB     I     PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang .................................................................................     1
B.     Rumusan Masalah .............................................................................     1

BAB     II    PEMBAHASAN
A.     Pengertian Ijma..................................................................................     2
B.     Macam-macam Ijma..........................................................................     8
C.     Cara Penggunaannya .........................................................................   11

BAB     III   PENUTUP
A.     Kesimpulan........................................................................................   13
B.     Saran.................................................................................................   13












[1] Prof. Dr. Rahmat Safe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007). Hal : 69
[2] Prof. Dr. Rahmat Safe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007). Hal : 69

[3] Drs. Chaerul Umam,dkk. Ushul Fiqh I. (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998). Hal : 74

[4]  Prof. Dr. Abdul Wahab Kallaf. Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002). Hal : 63-64
[5]  Prof. Dr. Rahmat Safe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007). Hal. 72-73

[6] Drs. Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh I. (Jakarta : Departemen Agama, 1985). Hal : 105-106